Sabtu, 10 Desember 2011

Assunnah-Nubuwwah


يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayanya meskipun orang-orang kafir benci.” [Ash-Shaff: 8]

Bagaimana cara orang untuk memadamkan cahaya Allah swt tak lain adalah dengan mengingkari Assunnah...sehingga mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menjatuhkan Nabi Muhammad saw dengan segala macam cara al dari membaikot,orang bodoh,anak yatim,orang melarat,dari kalangan bawah dll bahkan sampai saat ini masih banyak orang islam sendiri menganggap assunnah bukan apa apa masih kalah dengan katanya sia si b dll..itu disebabkan ketidak tahuan massalah sunnah tsb sehingga mereka banyak yang kurang paham kalau sunnah itu sendiri banyak dipalsukan supaya sabda Nabi tidak falid lagi sehingga keimanan terhadap pararasul berkurang  yang  akan berdampak lunturnya semua keimanan...untuk itu kita sebagai muslim alangkah pentingnya mempelajari assunah tersebut  yaa minimal kita bisa bertanya pada para ahlinya jangan asal bertanya supaya amalan kita bisa dipertanggungjawabkan...coba simak yang dibawah ini

Bismillahirrohmanirrohiim

Ummat Islam sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meyakini bahwa As-Sunnah merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Qur-an. Bahkan As-Sunnah adalah wahyu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ, أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ... (أخرجه أحمد 4/131 ولآجرّى في الشريعة 1/415 رقم 97 وغيرهما بإسناد صحيح)

“Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya bersamanya. Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur-an dan yang sepertinya bersamanya.” [1]

Maksud dari kalimat: “Dan seperti itu bersamanya” adalah As-Sunnah.

Al-Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, yang terkenal dengan Ibnu Hazm (wafat th. 456 H) berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur-an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [Al-Hijr: 9]

Kandungan dari ayat ini adalah bagi orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hari Akhir bahwasanya Allah menjamin terpeliharanya Al-Qur-an dan tidak akan hilang selamanya. Hal ini tidak diragukan sedikit pun oleh seorang muslim dan begitu pula sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, semuanya adalah WAHYU, berdasarkan firman Allah:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

Wahyu adalah Adz-Dzikr dengan kesepakatan seluruh ummat Islam, dan Adz-Dzikr terpelihara dengan nash Al-Qur-an, maka sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terpelihara dan pasti dijaga Allah Subhanahu wa Ta'ala.[2]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. Dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl: 44]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Dengan demikian, benarlah sabda Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyangkut urusan agama merupakan wahyu dari Allah Ta’ala. Para pakar bahasa Arab dan Ahli Fiqih tidak berselisih bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikra (peringatan). Oleh karena itu, setiap wahyu adalah sesuatu yang pasti dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan yakin. Semua yang dijamin oleh Allah dengan penjagaan-Nya, terjamin pula dari kepunahan dan tidak akan berubah satu pun darinya dan tidak ada yang membatalkannya. Jika wahyu tidak terjaga, niscaya firman Allah Ta’ala dan janji-Nya adalah sesuatu yang dusta dan jaminan-Nya sia-sia. Hal ini (tidak mungkin terjadi) dan tidak sedikit pun terlintas di benak orang yang berakal. Oleh karena itu, merupakan suatu kepastian bahwa segala sesuatu yang disam-paikan oleh Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berkaitan dengan masalah agama adalah terpelihara (terjaga) dengan pemeliharaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan disampaikan sebagaimana adanya kepada mereka selama-lamanya sampai hancurnya dunia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنذِرَكُم بِهِ وَمَن بَلَغَ

“… Dan al-Qur-an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur-an (kepada-nya)...” [Al-An’aam: 19]

Jadi kita dapat mengetahui bahwa semua sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sesuatu yang terjaga sepanjang waktu, tidak mungkin ada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hilang dalam masalah agama, dan tidak mungkin pula tersamar (bercampur) antara hadits yang palsu dan yang shahih. Kalau terjadi demikian berarti Adz-Dzikru tersebut tidak terjaga dan firman Allah Ta’ala: إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ adalah bohong dan janji palsu. Hal ini tidak mungkin diucapkan oleh seorang muslim.

Jika ada seseorang mengatakan bahwa yang dijamin oleh Allah terpelihara adalah Al-Qur-an saja dan bukan semua wahyu yang diturunkan selain Al-Qur-an, maka kami jawab, “Kami mohon taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tuduhan itu adalah bohong, tidak ada bukti sama sekali dan pengkhususan bahwa yang dimaksud Adz-Dzikra hanya Al-Qur-an saja, itupun tidak ada dalilnya. Maka dakwaan mereka itu adalah bathil.”

ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

“... Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’” [Al-Baqarah: 111]

Oleh karena itu, orang yang tidak punya bukti atas dakwaannya, maka ia tidak benar dan tidak bisa dipercaya.

Kalimat Adz-Dzikru mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa salalm, baik berupa Al-Qur-an maupun As-Sunnah, karena As-Sunnah sebagian wahyu yang telah dijelaskan oleh Al-Qur-an:

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ . Dalam ayat ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan Al-Qur-an kepada manusia. Di dalam Al-Qur-an banyak ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), kalau Sunnah tersebut tidak terjaga dan tidak terpelihara, niscaya ayat-ayat Al-Qur-an tidak bermanfaat, bahkan bisa menjadi batal sebagian besar dari kewajiban-kewajiban agama yang dibebankan kepada manusia?! Jika demikian, maka kita tidak mampu membedakan antara yang benar dari firman Allah dan yang salah dalam menafsirkannya atau orang yang sengaja berbohong. Semua ini mustahil ter-adi pada Allah Subhanahu wa Ta'ala. [3]

Di antara dalil lain yang menegaskan keotentikan As-Sunnah sebagai sumber hukum, bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh Nabi dan Rasul dan syari’atnya sebagai penutup syari’at sebelumnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan kepada manusia untuk beriman dan mengikuti segala ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga hari Kiamat. Allah telah menghapus segala syari’at yang bertentangan dengan syari’at beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai syari’at yang abadi dan terpelihara. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan bagi setiap muslim bila berselisih tentang sesuatu untuk kembali kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah.

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“... Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa': 59]

Imam Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mihran dan ulama Salaf lainnya ketika menafsirkan ayat ini: “Kembali kepada Allah, yaitu mengembalikan kepada Al-Qur-an dan kembali kepada Rasul yaitu mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada As-Sunnah.[4]

Semua Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah upaya untuk menjelaskan Al-Qur-an. Tidak ada satu pun yang samar atau tersembunyi dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat, melainkan beliau telah jelaskan, ini menunjukkan bahwa agama Islam sudah sempurna. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…” [Al-Maa-idah: 3]

Para Sahabat telah memberi kesaksian atas hal itu pada peristiwa Hajjatul Wada’ ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri meminta mereka memberikan kesaksian, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada satu pun yang beliau tidak sampaikan. Semua sudah disampaikan, apa saja yang membawa manusia ke Surga sudah beliau jelaskan, dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka sudah beliau jelaskan pula. Karena itu, hilangnya satu bagian dari Sunnah Rasul sama buruknya dengan hilangnya satu bagian dari Al-Qur-an. Sehingga ummat Islam sepanjang sejarah telah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga dan memelihara As-Sunnah. Upaya-upaya para ulama Ahli Hadits dalam menjaga As-Sunnah dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama : Para Shahabat yang mulia Radhiyallahu anhum langsung menerima hadits dari Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahkan yang tidak sempat hadir, mereka bertanya kepada yang hadir dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat untuk menyampaikan As-Sunnah. Beliau bersabda:

نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّعٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ. (رواه التّرمذى رقم 2657 وابن حبان رقم 74 وغيره. عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه وقال التّرمذى: هذا حديث حسن صحيح)

“Allah akan memberikan cahaya kepada wajah seseorang yang mendengarkan ucapanku, lalu ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar. Maka boleh jadi di antara yang disampaikan kepada mereka itu ada yang lebih mengerti daripada yang mendengarkan (langsung dariku).” [5]

Kedua : Kesungguhan para Shahabat dalam menyampaikan Sunnah Rasulullah di samping mereka langsung mengamalkan apa-apa yang datang dari al-Qur-an dan As-Sunnah.

Ketiga : Ketelitian para Shahabat yang tinggi dalam menerima As-Sunnah, bahkan ada yang diminta untuk menjadi saksi.

Keempat : Kesungguhan para ulama sepanjang sejarah dalam mengumpulkan As-Sunnah dan ketelitian mereka dalam menerimanya, serta hafalan mereka yang luar biasa (matan dan sanadnya).

Kelima : Pengetahuan mereka yang dalam tentang ihwal para perawi dan sikap kritis yang tinggi dalam menerima riwayat-riwayat mereka.

Keenam : Penyusunan ilmu al-Jarh wat Ta’dil (kriteria penerimaan dan penolakan hadits berdasarkan perawi-nya). Seperti al-Jarh wat Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razy (wafat th. 327 H).

Ketujuh : Pengumpulan dan penyusunan ‘illat-‘illat (cacat) hadits dengan pembahasan yang lengkap. Seperti kitab ‘Ilal Imam ad-Daraquthni dan Imam at-Tirmidzi.

Kedelapan : Penyusunan kitab-kitab untuk membedakan hadits-hadits maqbul (yang dapat diterima) dengan hadits mardud (ditolak).

Kesembilan : Penyusunan kaidah-kaidah yang menjelaskan kriteria penerimaan atau penolakan suatu hadits dari berbagai segi.

Kesepuluh : Penyusunan biografi para perawi hadits dengan pembahasan lengkap tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kesamaran atau perbedaan atau persa-maan dalam nama dan kun-yah. Seperti kitab:

1. Tahdzibul Kamal fi Asma-ir Rijal oleh al-Hafizh Ja-maluddin Abul Hajjaj Yusuf bin ‘Abdirrahman al-Mizzi (wafat th. 742 H)
2. Tahdziib Tahdzibul Kamal oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi (wafat 748 H)
3. Mizanul I’tidaal (4 jilid) oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi.
4. Tahdzibut Tahdzib (12 jilid) oleh al-Hafizh Syihabud-din Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqa-lany (wafat th. 752 H)
5. Taqribut Tahdzib (2 jilid) oleh al-Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalany
6. Al-Kuna wal Asma’ oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad bin Sa’d al-Anshary ad-Daulaby (wafat th. 320 H), dan kitab-kitab lain, ratusan jilid kitab yang membahas tentang hal ihwal rawi.

Dengan penjelasan di atas, kita tahu bahwa As-Sunnah yang berada di tangan kita telah dikumpulkan, dikodi-fikasi, disusun dan dipelihara keabsahannya dan keotentikannya oleh para ulama Islam hingga hari Kiamat, sebagaimana pertama kali mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Salah satu faktor terkuat yang memelihara keabsahan As-Sunnah adalah metode sanad dan kritik sanad. Ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi ummat ini yang tidak ditemukan pada ummat-ummat lain.

Kata ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) berkata:

َاْلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ لَوْلاَ اْلإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَاشَاءَ.

“Sanad itu merupakan bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya siapa saja akan berkata menurut apa yang dikehendakinya.” [6]

Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) mengomentari perkataan di atas, bahwa bila sanad hadits itu dapat diterima, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. Dinyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti antara hubungan hewan dengan kakinya. [7]

Dalam buku ini, penulis terangkan kedudukan As-Sunnah sebagai pembelaan terhadap As-Sunnah yang selalu dirongrong oleh musuh-musuh Islam dan orang-orang kafir, munafik, ahlul bid’ah, orientalis, dan para pengekornya. Mudah-mudahan penjelasan dalam buku ini dapat difahami, diamalkan, dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga tulisan ini menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat.

Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para Shahabatnya serta para pengikut beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tetap ittiba’ mengikuti Sunnahnya, hingga akhir zaman.
Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamiin.
Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa,

3 komentar:

silahkan komentar yang baik dan membangun

ini isi tab pertama
ini isi tab kedua
ini isi tab Ketiga

Translate

RT @mikefilsaime is having a Webinar Event this week. Make sure to make it. I'll be on! http://nowview.me/kLA2